/* Banner Iklan 125x125 */ #spotbanner{ overflow: hidden; padding:0; } .ad1, .ad3 { float: left; margin-bottom: 5px; padding-left:0px; } .ad2, .ad4 { float: right; margin-bottom: 5px; padding-right:0px; }

Selasa, 15 Februari 2011

DAMPAK FLUKTUASI NILAI TUKAR TERHADAP OUTPUT DAN HARGA



Abstrak
Penguatan nilai tukar rupiah yang sampai mencapai angka Rp 9000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar rupaiah dalam beberapa hari belakang ini.
Hal ini menimbulkan banyak kecemasan untuk kita, apakah ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita berkaca dengan kondisi perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal ini akan bertahan lama, karena sebenarnya penguatan rupaih ini dipicu oleh para spekulan yang bermain di pasar uang, bentuk investsi yang datang ke indonesia sekarang berbenruk hot money dan sifatnya short term.

PENDAHULUAN
Sebagai perekonomian terbuka, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua sisi, permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih tinggi dibandingkan barang dalam negeri. Hal ini akan meningkatkan permintaan terhadap barang dalam negeri baik dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar negeri terhadap ekspor. Analisa sisi permintaan ini diperkaya dengan konsep elastisitas harga Marshall-Lerner condition, di mana depresiasi nilai tukar akan meningkatkan net ekspor apabila jumlah elastisitas harga ekspor dan impor lebih besar dari satu. Di lain pihak, dari sisi penawaran depresiasi nilai tukar akan meningkatkan biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan harga secara umum. Efek netto dari depresiasi nilai tukar terhadap output tergantung dari kekuatan relatif kedua sisi penawaran dan permintaan tersebut.
Dari sisi permintaan selain dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar, pergerakan output juga terkait erat dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Ekspansi kebijakan moneter akan menurunkan tingkat suku bunga yang selanjutnya dapat meningkatkan investasi dan output. Demikian juga halnya dengan kebijakan fiskal di mana ekspansi pengeluaran pemerintah yang merupakan salah satu komponen permintaan agregat dapat menyebabkan peningkatan output, meskipun dampak crowding-out tetap perlu untuk dipertimbangkan.
Di sisi lain, pengalaman dari krisis nilai tukar telah menggarisbawahi arti penting dari penyelarasan proyeksi nilai tukar pelaku ekonomi dalam menentukan kebijakan nilai tukar yang tepat. Berdasarkan hal ini, kontribusi teori rational expectation bertujuan untuk memisahkan dampak pergeseran nilai tukar dari komponen yang anticipated dengan yang unanticipated. Pergerakan yang anticipated pada nilai tukar diasumsikan sejalan dengan pengamatan para pelaku ekonomi terhadap faktor-faktor fundamental. Sementara deviasi pada realisasi nilai tukar dari nilai ekspektasinya dapat menangkap komponen yang unanticipated dari pergerakan nilai tukar. Dalam konteks ini penawaran output dipengaruhi oleh pergerakan harga yang unanticipated dan biaya produksi. Pergerakan yang anticipated dari nilai tukar akan menentukan biaya produksi output tersebut. Di lain pihak, pergerakan nilai tukar yang unanticipated akan menentukan kondisi perekonomian melalui tiga jalur; net-ekspor, permintaan uang dan penawaran output (Kandil dan Mirzaie, 2002).

PEMBAHASAN
Penguatan nilai tukar rupiah yang sampai mencapai angka Rp 9000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar rupaiah dalam beberapa hari belakang ini.
Hal ini menimbulkan banyak kecemasan untuk kita, apakah ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita berkaca dengan kondisi perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal ini akan bertahan lama, karena sebenarnya penguatan rupaih ini dipicu oleh para spekulan yang bermain di pasar uang, bentuk investsi yang datang ke indonesia sekarang berbenruk hot money dan sifatnya short term.
Kecemasan juga melanda banyak pengusaha jika nilai tukar rupiah sampai menembus angka kurang dari Rp 9000, dikarenakan jika para pengusaha ini melakukan eksport besar-besaran sekarang ini, tentu mereka akan menglami kerugian karena pada saat mereka berproduksi biaya produksinya justru lebih besar dikarenakan dolar masih berkisar diatas Rp 9500.
Apa yang harus dilakukan bank sentral dalam perkeonomian sekarang ini, mirip sekali dengan pengajaran di perkuliahan bukan? Bank sentral sebagai pengontrol kebijakan moneter harus ambil bagian untuk mengatasi permasalahan ini, akibat buruk yang terjadi bila tidak melakukan tindakan di bidang moneter akan mengakibatkan ketimpangan neraca perdagangan perekonomian empat sector.
Hasil estimasi model empiris memperlihatkan bahwa fluktuasi nilai tukar hanya berpengaruh pada output dan harga pada periode free floating, sementara pada periode managed floating baik output maupun harga tidak terpangaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar.
Dari hasil estimasi persamaan pertumbuhan output, anticipated depreciation akan meningkatkan output, hal ini memperlihatkan bahwa jalur sisi permintaan lebih kuat daripada jalur sisi penawaran. Hasil jalur sisi permintaan ini sejalan dengan Husman (2005) yang memperlihatkan terpenuhinya Marshall-Lerner condition pada perdagangan Indonesia dengan mitra dagang utamanya sehingga depresiasi nilai tukar akan meningkatkan netekspor Indonesia yang selanjutnya akan meningkatkan output. Di lain pihak, dari sisi penawaran depresiasi nilai tukar meningkatkan biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan harga secara umum. Berdasarkan hasil estimate terlihat bahwa dampak sisi penawaran lebih kuat jika dibandingkan dengan dampak sisi penawaran terhadap pertumbuhan output sehingga secara netto depresiasi nilai tukar akan berdampak positif terhadap output.
Namun demikian karena model yang digunakan pada penelitian ini tidak memperlihatkan adanya intertemporal budget constraint pada persamaan konsumsi (1), maka dampak dari kenaikan harga konsumen akibat adanya depresiasi nilai tukar tidak akan mempengaruhi konsumsi. Jika keputusan konsumsi didasarkan oleh intertemporal budget constraint, maka kenaikan harga konsumen, dalam hal ini inflasi, akan menyebabkan turunnya pengeluaran konsumsi pada periode t sehingga dampak total depresiasi nilai tukar terhadap output belum tentu tetap akan menjadi positif.
Dari sisi pembentukan harga, karena pada periode managed floating perubahan nilai tukar yang terjadi tidaklah besar, kenaikan harga bahan baku impor tidak serta merta dapat menyebabkan produsen meningkatkan harga jualnya, sementara pada periode free floating yang terjadi adalah sebaliknya. Pada periode free floating depresiasi nilai tukar baik anticipated maupun unanticipated akan menyebabkan peningkatan inflasi. Depresiasi nilai tukar akan meningkatkan harga produk bahan baku impor pada sisi penawaran yang selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya harga konsumen. Meningkatnya signifikansi jalur ini dibandingkan dengan pada periode managed floating mengindikasikan semakin kuatnya direct passthrough pada periode free floating.
Selanjutnya, untuk mengetahui simetris atau tidaknya dampak unanticipated shock dari nilai tukar, dilakukan pemisahan dampak depresiatif dan apresiatif nilai tukar terhadap inflasi seperti pada persamaan (20). Berdasarkan hasil estimasi tersebut, diketahui bahwa pengaruh nilai tukar terhadap harga bersifat asimetris dimana depresiasi akan meningkatkan inflasi, sementara apresiasi tidak secara signifikan akan menurunkan inflasi. Hasil ini mengindikasikan bahwa produsen hanya akan meneruskan kenaikan harga bahan baku impor ke harga jual untuk mempertahankan marjin keuntungannya namun tidak demikian halnya dengan penurunan harga barang impor. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa struktur pasar cenderung merupakan monopolistic competition, sejalan dengan hasil Nugroho, Yanuarti dan Tjahjono (2005).


Dampak Money Supply
Pada periode managed floating, terlihat bahwa hanya shock pada kebijakan money supply yang dapat mempengaruhi pertumbuhan output dan harga, sementara faktor lain tidak memberikan dampak secara signifikan. Signifikannya pengaruh unanticipated money supply shock terhadap output ini sejalan dengan hipotesis yang diungkapkan oleh Barro (1979). Namun demikian, pada periode free floating stimulus moneter terlihat tidak efektif dalam meningkatkan output melainkan hanya akan meningkatkan inflasi.
Perubahan efektifitas stimulus moneter ini dipengaruhi oleh adanya perubahan pada elastisitas suku bunga terhadap money supply, yaitu parameter λ pada persamaan (9). Hasil estimasi persamaan forecast untuk variabel money supply memperlihatkan bahwa pada periode managed floating parameter λ bernilai -0.02 namun pada periode free floating nilainya menjadi 0.005. Perubahan ini diantaranya dapat disebabkan oleh adanya peningkatan faktor ekspektasi inflasi dimana peningkatan udang berdear akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap tingkat inflasi di masa depan yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat suku bunga (Mishkin, 2001). Implikasinya ekspansi moneter gagal untuk menurunkan suku bunga nominal sehingga tidak dapat mendorong pertumbuhan output.
Kembali pada periode managed floating, ekspansi moneter dapat menyebabkan depresiasi nilai tukar sehingga untuk mempertahankan nilai tukar rupiah, dibutuhkan sterilisasi dengan membeli rupiah terhadap mata uang asing. Proses ini akan menyebabkan bergesernya kembali kurva LM ke kiri. Namun seperti yang bisa dilihat dari Grafik 1 yang memperlihatkan pergerakan rupiah sepanjang periode managed floating, nilai tukar tetap dibiarkan terdepresiasi secara perlahan sehingga kurva LM tidak sepenuhnya kembali ke posisi semula. Pergeseran kurva LM relatif terhadap posisi semula akan menyebabkan turunnya tingkat suku bunga yang pada gilirannya dapat menghasilkan peningkatan output sesuai dengan hubungan yang diperlihatkan pada persamaan (9).


Dampak Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal hanya dapat mempengaruhi output pada periode free floating, sementara pada periode managed floating fiskal stimulus tidak efektif dalam meningkatkan output. Pada periode free floating baik anticipated maupun unanticipated pengeluaran pemerintah dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan output. Namun demikian pada hasil estimasil persamaan inflasi, kebijakan fiskal tidak secara signifikan mempengaruhi harga. Hal ini dapat disebabkan oleh pengeluaran subsidi yang dilakukan merupakan bagian dari variabel pengeluaran pemerintah itu sendiri.
Hasil empiris perbedaan efektifitas kebijakan fiskal ini sejalan dengan temuan Hardiyanto dan Togo (2005). Studi yang meneliti cyclicality kebijakan fiskal di beberapa negara berkembang tersebut memperlihatkan bahwa untuk kasus Indonesia kebijakan fiskal tidak berjalan optimal dan procyclical terhadap business cycle sebelum tahun 1999. Namun setelah tahun 1999 dengan optimaliitas kebijakan fiskal membeik dan countercyclical terhadap business cycle sejlaan dengan mulai diterbitkannya obligasi pemerintah sebagai salah satu alternatif pembayaran hutang pemerintah. Pembahasan tentang perkembangan kebijakan fiskal diluar ruang lingkup penelitian ini.

Dampak Harga Minyak
Pada periode managed floating meskipun Indonesia berperan sebagai net eksportir, namun harga minyak tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan output, setidaknya sampai dengan tingkat α= 15%. Demikian juga halnya pada persamaan inflasi, pergerakan harga minyak internasional tidak mempengaruhi tingkat inflasi. Hal ini disebabkan oleh besarnya subdisi pemerintah sehingga harga dalam negeri cenderung stabil.
Pada periode free floating terdapat beberapa perubahan kondisi yang dapat mempengaruhi pengaruh perubahan harga minyak terhadap output maupun harga, yaitu (i) berubahnya peran Indonesia dari net-eksportir menjadi net-importir pada pertengahan tahun 2003 (Grafik 2), dan (ii) terjadi perubahan pola subsidi yang utamanya terjadi pada tahun 2005 akibat tingginya harga minyak internasional. Sebagai implikasi dari perubahan tersebut, parameter pengaruh harga minyak tidak dapat secara langsung diintepretasikan.

Komparasi Dampak Kebijakan
Berdasarkan nilai parameter hasil estimasi, variabel kebijakan yang paling besar pengaruhnya tehadap pertumbuhan output pada periode free floating ialah kebijakan fiscal dimana setiap kenaikan 1% pada pertumbuhan anticipated dari pengeluaran pemerintah akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan output sebesar 0.544%. dan 0.503%. untuk pengeluaran pemerintah yang unanticipated. Dampak terbesar selanjutnya disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar riil akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan output sebesar 0.441%. Namun dampak kedua variabel kebijakan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money supply terhadap pertumbuhan pada periode managed floating dimana 1% kenaikan pertumbuhan uang beredar akan menyebabkan 0.898% kenaikan pertumbuhan.
Untuk persamaan inflasi baik pada periode managed floating maupun periode free floating, kebijakan moneter memberikan dampak terbesar terhadap inflasi dimana 1% kenaikan pertumbuhan unag beredar akan menyebabkan 0.231% kenaikan inflasi pada periode managed floating, dan 0.362% pada periode free floating Hasil ini memperlihatkan adanya kenaikan pengaruh uang beredar terhadap inflasi pada periode free floating dibandingkan periode managed floating. Kenaikan ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pengaruh ekspektasi inflasi. Pada tingkat yang lebih rendah, depresiasi nilai tukar juga memiliki dampak yang signifikan terhadap inflasi dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.120% untuk dampak anticipated, dan 0.099% untuk dampak unanticipated. Namun demikian hasil estimasi persamaan (20) memperlihatkan bahwa dampak pergerakan nilai tukar ini tidak bersifat simetris dimana apresiasi nilai tukar tidak menyebakan penurunan tingkat inflasi.


PENUTUP
Hasil empiris dari studi ini memperlihatkan bahwa perubahan rezim nilai tukar telah mempengaruhi dampak nilai tukar, maupun efektifitas kebijakan moneter dan fiskal, dalam mempengaruhi pertumbuhan output dan inflasi. Perubahan ini mungkin tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan perubahan rezim nilai tukar, melainkan melalui faktor lain akibat perubahan rezim itu sendiri. Faktor lain yang menyebabkan perubahan efektifitas ini ialah faktor ekspektasi inflasi dimana pengaruhnya meningkat pada periode free floating. Peningkatan ini salah satunya diindikasikan oleh berubahnya elastisitas suku bunga terhadap uang beredar. Di samping itu, perubahan rezim nilai tukar juga membawa konsekuensi meningkatnya dampak direct-passthrough nilai tukar terhadap inflasi.
Dari sisi efektifitas tiap kebijakan dalam mendorong pertumbuhan terlihat bahwa pada periode managed floating monetary stimulus bekerja efektif dalam meningkatkan output namun tidak demikian halnya pada periode free floating. Sebaliknya, fiskal stimulus justru bekerja efektif dalam meningkatkan output pada periode free floating, tidak pada periode managed floating. Disisi lain, pada periode managed floating, perubahan nilai tukar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap output maupun harga.
Dari sisi dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan output, dalam studi ini terlihat bahwa perubahan output lebih didominasi oleh sisi permintaan; melalui jalur peningkatan daya saing, daripada sisi penawaran; melalui peningkatan biaya bahan baku impor. Hal ini telihat dari positifnya dampak netto dari depresiasi nilai tukar terhadap pertumbuhan.
Jika dilihat dari besarnya dampak tiap kebijakan, variabel kebijakan yang paling besar pengaruhnya tehadap pertumbuhan output pada periode free floating ialah kebijakan fiskal, selanjutnya diikuti oleh dampak depresiasi nilai tukar. Namun dampak kedua variabel kebijakan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money supply terhadap pertumbuhan output pada periode managed floating. Sementara itu dari sisi pembentukan harga, baik pada periode managed floating maupun periode free floating, kebijakan moneter memberikan dampak terbesar terhadap inflasi.
Referensi
Agenor, P.R. (1991) Output, Devaluation and the Real Exchange Rate in Developing Countries, Weltwirtschaftliches Archives, Band 127.
Barro, Robert J. (1977) Unticipated Money Growth and Unemployment in the United States, the American Economic Review, Vol 67, No. 2.
Bilan, Olena (2005). In Search of the Liquidity Effect in Ukraine, Journal of Comparative Economics, Vol 33. No. 3, pp. 484-499.
Cover, J.P. (1992). Asymmetric Effects of Positive and Negative Money Supply Shocks, Quarterly Journal of Economics 107 (4), 1261-1282.
Dickey, D.A. and Fuller, W.A. (1981),”Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series witha Unit Root”, Econometrica, Vol. 49.
Johansen, S. (1988),”Statistical Analysis of Cointegration Vectors”, Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar